
JurnalisKapuasHulu.com -Terbukti melakukan penggarapan lahan milik masyarakat Desa Nanga Suruk Kecamatan Bunut Hulu, Perusahaan kebun sawit PT Batu Rijal Perkasa (BRP) tak sanggup untuk ganti rugi lahan masyarakat.
Padahal sebelumnya sudah diputuskan dalam rapat Forkompincam Bunut Hulu, pihak perusahaan diminta mengganti rugi lahan masyarakat yang sudah digarap perusahaan sebesar Rp930 juta.
Achmad Yani warga Desa Nanga Suruk Kecamatan Bunut Hulu mengaku sangat kecewa dengan PT BRP yang tak sanggup memenuhi tuntutan masyarakat.
“Kami anggap PT BRP tidak menghargai keputusan Adat Melayu di Kecamatan Bunut Hulu,” katanya, Sabtu (7/2).
Yani mengatakan, PT BRP dikenai adat Melayu sebesar Rp930 juta karena terbukti menggarap lahan masyarakat.
“Kami masyarakat Nanga Suruk akan menyegel semua kegiatan PT BRP,” ucapnya.
Joko Kusmanto amat Bunut Hulu menyampaikan, untuk menyelesaikan permasalahan antara masyarakat dan perusahaan ini sudah dilakukan mediasi beberapa kali, bahkan mediasi sudah dilakukan sembilan kali. Bahkan mediasi sudah dilakukan sejak bulan Mei 2024.
Saat itu pada mediasi kedelapan, masyarakat pemilik lahan mengajukan tuntutan ganti rugi lahan kepada pihak perusahaan sebanyak ratusan juta dengan jumlah lahan yang digarap perusahaan seluas ratusan hektare dengan kepemilikan 113 orang.
“Tadi dari PT BRP melalui Dewan Direksinya menyampaikan bahwa perusahaan hanya mampu membayar ganti rugi lahan sebesar Rp125 juta. Jelas masyarakat menolaknya,” katanya.
Joko menjelaskan adanya tuntutan ganti rugi lahan ke PT BRP sebesar Rp930 juta itu ditentukan oleh tim perumus yang dibentuk oleh Forkompincam Bunut Hulu sebelumnya.
“Jadi awalnya itu untuk mencari solusi terhadap permasalahan tersebut agar benar-benar selesai, Forkompincam Bunut Hulu membentuk panitia,” ujarnya.
Joko mengatakan, panitia yang dibentuk ini terbagi 3 tim yakni tim investigasi lapangan, tim klarifikasi dan terakhir baru tim perumus. Namun dari tim perumus dibagi dua lagi yakni pendalaman dari tim klarifikasi dan tim terkait kompensasi yang melibatkan ketua adat desa, punggawa dan kecamatan.
“Jadi dari tim perumus ini menilai ada pelanggaran baik secara adat yang dilakukan oleh PT BRP,” ujarnya.
Lanjut Joko, dari mediasi kesembilan yang dilakukan pada 7 Februari 2025, dari PT BRP tidak menyanggupi tuntutan ganti rugi masyarakat tersebut. Dari PT BRP hanya menyanggupi ganti rugi lahan sebesar Rp125 juta saja.
“Jadi kita anggap hasil mediasi yang kita lakukan bersama masyarakat dan PT BRP ini deadlok. Kita serahkan masalah ini untuk kedua belah pihak mengambil langkah masing-masing,” ujarnya.
Namun sebagai Camat, dirinya berharap terkait persoalan yang ada di Desa Nanga Suruk ini untuk lahan yang tergarap ini, masing-masing pihak kembali melakukan pertemuan secara internal untuk mencari solusi terbaiknya.
“Kita akui juga bahwa perkebunan kelapa sawit itu dibutuhkan masyarakat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Kita harap juga masyarakat dapat membuka diri, karena dengan adanya PT BRP ini dapat membuka lowongan pekerjaan masyarakat. Kita harap ada titik antar kedua belah pihak,” pungkasnya. (Opik)